Tidak ada seorang muslim pun yang ragu untuk mengatakan bahwa kondisi umat Islam
kini benar-benar sangat buruk.Berbagai problem dan krisis terus mencengkeram
mereka.Dari sisi eksternal umat terus menjadi korban proyek imperialisme
negara-negara kapitalis yang kafir. Sementara dari sisi
internal, umat Islam terpecah belah menjadi 50 negara boneka yang dipimpin oleh
para penguasa zalim yang menjadi antek-antek negara imperialis itu. Para
penguasa itu telah mengambil sistem-sistem sosial yang sekularistik dari Barat
dan menerapkannya secara paksa dan kejam kepada umat Islam. Mereka menerapkan
sistem demokrasi dalam pemerintahan dan sistem kapitalisme dalam perekonomian.
Akhirnya, umat hanya menjadi kelinci percobaan dari proyek-proyek pihak asing
dan harus bersedia menderita atau mati konyol secara sia-sia.
Kondisi ini lahir --dalam perspektif Aqidah Islamiyah-- karena umat telah
berlepas diri dari hukum-hukum Allah SWT. Penerapan ide sekularisme (pemisahan
agama dari kehidupan) jelas menyeret umat terjerumus ke dalam tindakan abai
terhadap Syariat Islam. Inilah penyebab kehancuran umat. Sebab setiap
penyimpangan dari Syariat Islam, tak pelak lagi pasti akan menimbulkan
kerusakan, kemudharatan, dan kesengsaraan. Allah SWT berfirman:
“Dan barang siapa berpaling dari petunjuk-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam
keadaan buta.” (Qs. Thaahaa [20]: 124).
“Maka hendaklah merasa takut orang-orang yang yang menyalahi perintah-Nya bahwa
mereka akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (Qs. An-Nuur [24]:
63).
Sebaliknya, setiap ketaatan kepada hukum Allah SWT, akan menghantarkan pada
kebahagiaan, kemuliaan, dan kejayaan. Allah SWT berfirman :
“Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti
petunjuk-Ku maka ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Qs. Thaahaa [20]:
123).
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.” (Qs. Al-A’raaf [7]: 96).
Maka dari itu, sangatlah jelas, bahwa untuk memperbaiki kondisi umat Islam itu
kita tidak memiliki jalan lain kecuali kembali menerapkan Syariat Islam. Sebab
di samping penerapan Syariat Islam akan menghasilkan kemaslahatan, penerapan
Syariat Islam itu sendiri adalah wajib hukumnya. Allah SWT berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Qs. Al-A’raaf [7]: 3).
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr [59]: 7).
“Dan hendaklah kamu memutuskan (perkara) di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan jangnlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka…” (Qs.
Al-Maa`idah [5]: 49).
Hanya saja, kewajiban penerapan Syariat Islam ini tidak boleh dijalankan
setengah-setengah. Harus kaffah (utuh menyeluruh). Tidak boleh menerapkan
sebagian aspek ajaran Islam --misalnya ibadah-- seraya mengingkari aspek
lainnya, misalnya siyasah (politik) dan iqtishadiyah (ekonomi). Allah SWT
berfirman:
“Apakah kamu akan beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap
sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang yang berbuat demikian di
antara kamu, melainkan kehinaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat
mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 85).
Kewajiban berislam secara totalitas telah ditegaskan dalam firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 208).
Dalam prakteknya, penerapan Syariat Islam tidak mungkin sempurna kecuali dengan
adanya institusi negara Islam atau Khilafah. Karenanya, keberadaan Khilafah
adalah wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’:
Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka
sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Dengan demikian, perjuangan umat harus terfokus kepada pendirian Khilafah, yaitu
kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan Syariat
Islam dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia. Dengan Khilafah itulah akan
dapat diterapkan kembali hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Sebaliknya,
jelas mustahil dan omong kosong membicarakan penerapan Syariat Islam tanpa
institusi Khilafah.
Namun perlu dipahami benar-benar, bahwa Khilafah itu bukan tujuan. Tujuan
sebenarnya adalah penerapan Syariat Islam itu sendiri, yang dengannya umat Islam
akan kembali mereguk kenikmatan hidup secara Islami, penuh dengan limpahan
keridhaan Allah SWT.
Maka yang menjadi permasalahan sekarang adalah, bagaimana metode (cara)
mendirikan Khilafah itu?
Dalam hal ini perlu ditegaskan 2 (dua) prinsip. Pertama, bahwa aktivitas muslim
wajib bersandar kepada hukum syara’, bukan bersandar kepada selainnya, seperti
kepentingan sesaat, hawa nafsu, atau akal. Karena itu, perjuangan umat untuk
mendirikan Khilafah harus berdasarkan kepada hukum-hukum syara’, tidak boleh
didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang non-syara’. Keterikatan kepada
Syariat Islam adalah kewajiban tiap muslim. Kedua, bahwa umat Islam wajib
mengambil suri teladan (uswah hasanah) dari Nabi Muhammad SAW dalam masalah ini.
Sebab, Rasulullah SAW telah memberi teladan bagaimana cara mengubah masyarakat
jahiliyah menjadi masyarakat Islam. Kita wajib meneladani manhaj (metode)
Rasulullah SAW ini. Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi
kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari
Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat
Allah).” (Qs. Al-Ahzab [33]: 21).
“Katakanlah: 'Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Qs. Ali-Imran [3]: 31).
“Apa saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambilah. Dan apa saja yang
dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr [59]: 7).
Berdasarkan 2 (dua) prinsip itulah, maka langkah-langkah untuk mendirikan
Khilafah dapat disarikan sebagai berikut:
1. Perjuangan harus dilakukan secara jama’i (berkelompok). Sebab mendirikan
Khilafah adalah tugas yang berat yang tidak akan mampu dipikul oleh
individu-individu. Karena itu, umat wajib berkelompok (berjamaah) untuk
mendirikan Khilafah, sebab tanpa berkelompok tak mungkin kewajiban mulia itu
dapat terealisir secara sempurna. Kaidah syara’ menetapkan :
Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka
sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Selain itu, berdirinya jamaah yang menyeru kepada Islam dan melaksanakan amar
ma’ruf nahi mungkar adalah wajib pula berdasarkan firman Allah SWT:
“(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru
kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam), memerintahkan
kepada yang ma'ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang
beruntung.” (Qs. Ali-Imran [3]: 104).
2. Perjuangan harus berada di jalur politik (siyasah). Sebab mendirikan Khilafah
adalah masalah politik sehingga metode yang relevan untuk mendirikannya tentunya
adalah melalui pendekatan politik. Penggunaan jalan politik ini bukan berarti
menghalalkan segala cara, sebagaimana praktek politik saat ini yang sangat kotor
dan tuna susila. Akan tetapi maksudnya adalah, perjuangan yang dilakukan harus
selalu mengacu pada aktivitas pemeliharaan urusan umat, sebab politik (siyasah)
adalah pemeliharaan dan pengaturan segala urusan umat menurut hukum-hukum
syara’.
Dengan demikian, penegakan Khilafah tidak ditempuh melalui jalur selain politik.
Jadi, mendirikan Khilafah paling tepat dilakukan oleh sebuah kelompok politik.
Tidak tepat bila mendirikan Khilafah ditempuh melalui jalur selain politik,
misalnya jalur yang dilakukan kelompok yang mengadakan kegiatan
sosial-kemasyarakatan (seperti membangun sekolah dan rumah sakit; membantu fakir
miskin, anak-anak yatim atau orang-orang jompo dan sebagainya), atau kelompok
yang bergerak dalam peribadatan dan amalan-amalan sunnah, atau kelompok yang
menerbitkan buku-buku keislaman, mentakhrij hadits-hadits Nabi SAW, dan
sebagainya.
Memang, semua itu adalah amal shaleh, bukan amal salah. Namun tidak tepat kalau
itu dimaksudkan sebagai langkah atau jalur menuju berdirinya Khilafah.
3. Perjuangan tidak menggunakan cara kekerasan (fisik), misalnya dengan
membentuk milisi-milisi bersenjata untuk menyerang penguasa. Sebab, aktivitas
Rasulullah SAW di Mekah terbatas hanya pada dakwah secara lisan dan tidak
melakukan kegiatan apapun yang bersifat fisik sampai beliau Hijrah. Bahkan
tatkala tokoh-tokoh Madinah menawarkan kepada beliau pada Bai'atul Aqabah II
agar mereka diizinkan memerangi penduduk Mina dengan pedang, Rasulullah SAW
menjawab “lam nu`mar bi dzalika ba’du” (“Kami belum diperintahkan (untuk
melakukan yang demikian (perang)”).
Kekuatan fisik yang dimaksud dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan Jihad.
Jihad tetap berlangsung terus hingga hari Kiamat. Apabila musuh-musuh kafir
menyerang salah satu negeri Islam, maka wajib atas kaum muslimin yang menjadi
penduduk negeri itu untuk menghadapinya.
4. Perjuangan harus menempuh tahap-tahap (marhalah) yang dicontohkan Rasulullah
SAW. Dengan mendalami sirah Rasulullah SAW di Makkah hingga beliau berhasil
mendirikan suatu Daulah Islam di Madinah, akan tampak jelas beliau menjalani
dakwahnya dengan beberapa tahapan yang jelas ciri-cirinya. Beliau melakukan
kegiatan-kegiatan tertentu yang tampak dengan jelas tujuan-tujuannya. Dari sirah
Rasulullah SAW inilah kita mengambil metode dakwah dan tahapan-tahapannya,
beserta kegiatan-kegiatan yang harus dilakukannya pada seluruh tahapan ini.
Berdasarkan sirah Rasulullah SAW tersebut, kita dapati terdapat 3 (tiga) tahapan
(marhalah) berikut : Pertama, Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah At
Tatsqif), yang dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai
pemikiran Islam dalam rangka pembentukan kerangka tubuh jamaah/kelompok. Kedua,
Tahapan Berinteraksi dengan Umat (Marhalah Tafa’ul Ma’a Al Ummah), yang
dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam, hingga umat
menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, agar umat berjuang untuk
mewujudkannya dalam realitas kehidupan. Ketiga, Tahapan Pengambilalihan
Kekuasaan (Marhalah Istilaam Al Hukm), yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam
secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.
Tahap pertama tersebut, serupa dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW
pada tahap awal dakwah beliau yang berlangsung selama tiga tahun. Beliau
berdakwah melalui individu dan menyampaikan kepada orang-orang (yang ada di
Mekah dan sekitarnya) apa yang telah disampaikan Allah kepadanya. Bagi orang
yang sudah mengimaninya, maka diikat dengan kelompoknya (pengikut Rasul) atas
dasar Islam secara sembunyi-sembunyi. Rasulullah SAW berusaha mengajarkan Islam
kepada setiap orang baru dan membacakan kepada mereka apa-apa yang telah
diturunkan Allah dan ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mereka berpola hidup secara
Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahasia dan
membina mereka secara rahasia pula di tempat-tempat yang tersembunyi. Selain itu
mereka melaksanakan ibadah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian penyebaran Islam
makin meluas dan menjadi buah bibir masyarakat (Mekah), yang pada akhirnya
secara berangsur-angsur mereka masuk ke dalam Islam
Adapun tahap kedua, dilaksanakan Rasulullah SAW setelah turunnya firman Allah
SWT:
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpa linglah dari orang-orang yang musyrik.” (Qs. Al-Hijr
[15]: 94).
Rasulullah SAW diperintahkan menyampaikan risalahnya secara terang-terangan.
Beliau menyeru orang-orang Quraisy di bukit Shafa dan memberitahu bahwasanya
beliau adalah seorang nabi yang diutus. Beliau meminta agar mereka beriman
kepadanya. Beliau memulai menyampaikan dakwahnya kepada kelompok-kelompok dan
kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy melawan
tuhan-tuhan mereka, aqidah dan pemikiran mereka, mengungkapkan kepalsuan,
kerusakan dan kesalahannya.
Beliau menyerang dan mencela setiap aqidah dan pemikiran kufur yang ada pada
saat itu, sementara ayat Al-Qur’an masih turun secara berangsur-angsur. Ayat
Al-Qur’an tersebut turun dan menyerang apa yang dilakukan orang-orang Quraisy,
seperti perbuatan memakan riba, mengubur anak-anak perempuan (hidup-hidup),
mengurangi timbangan dan perzinahan. Seiring dengan itu ayat Al-Qur’an turun
mengecam para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, mencapnya sebagai orang bodoh,
termasuk nenek moyang mereka dan mengungkapkan persekongkolan yang mereka
rancang untuk menentang Rasul dan sahabat-sahabatnya.
Sedang tahap ketiga, yakni pengambilalihan kekuasaan, ditempuh dengan cara
melakukan thalabun nushrah (mencari pertolongan dan dukungan) untuk menjamin
keberlangsungan dakwah secara aman dan memperoleh kekuasaan. Dalam sirah
Rasulullah SAW, beliau mendapatkan nushrah dari kabilah Aus dan Khazraj yang
dengan peristiwa Baiat Aqabah II, mereka akhirnya menjadikan Rasulullah SAW
sebagai pemimpin mereka dan menyerahkan kekuasaan kepada beliau. Secara nyata
kekuasaan ini dilaksanakan dan dijalankan oleh Rasulullah SAW setelah beliau
berhijrah ke Madinah dan menjadikan Madinah sebagai Daulah Islamiyah pertama di
muka bumi, untuk menegakkan hukum Allah di dalam negeri dan menyebarluaskan
Islam dengan jalan dakwah dan jihad ke luar negeri.
Inilah langkah-langkah yang harus ditempuh umat untuk mengembalikan Khilafah
Islamiyah. Dengan kembalinya Khilafah, akan dapat diterapkan Syariat Islam yang
berfungsi sebagai mu’alajat li masyakil al insan (pemecahan problem-problem
manusia). Dengan kembalinya Khilafah, akan dapat juga dilangsungkan kembali
metode yang shahih untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia, yaitu
dakwah Islamiyah dan jihad fi sabilillah. Semua ini insya Allah akan segera
terwujud dengan upaya dan perjuangan kita bersama-sama, walaupun kita maklum,
orang-orang kafir pasti membencinya!
Allah SWT berfirman:
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)
mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang kafir
benci.” (Qs. Ash-Shaff [61]: 8). [ ]